Hanya Seorang Penjual Es, Bukan Penjual Agama

 

"Semua orang yang bekerja itu mulia"

-Pramudya ananta toer

        Wejangan yang di atas sangat pantas disuguhkan kepada kita yang terkadang merendahkan harakat dan martabat orang lain apalagi orang-orang yang bekerja keras demi sesuap nasi. Sebagaimana ucapan yang tidak mengelokkan hati yang dilontarkan oleh seorang tokoh agama atau bahkan untusan khusus presiden dalam merawat kerukunan.. ucapan tersebut sungguh tak mendidik.

        Potongan video yang disampaikan Gus Miftah pada kegiatan pengajian mengeluarkan kata-kata kasar kepada bapak penjual air minum dan es teh saat acara pengajian yang saat ini sedang viral di media sosial. Bahkan tokoh tersebut atau kerap disapa gus miftah menjadi trending topik teratas di akun twitter beserta media lainya hingga hari ini .

        Dalam video yang beredar, sosok pria yang dikenal sangat dekat dengan kalangan selebritis ini duduk di atas panggung kajian mengolok-olok atau merendahkan bapak penjual penjual minuman dan es teh tersebut.

        Gus Miftah yang kini tengah menjabat sebagai Utusan Khusus Presiden bertanya lebih dulu apakah es teh tersebut masih ada namun diikuti dengan kalimat yang tak seharusnya dikeluarkan oleh seorang tokoh agama.


        "Es teh mu masih banyak gk? Masih? Ya sana dijual bodoh!!"


        Ucapan itu pun langsung respon gelak tawa para hadirin.


         "Jual dulu, kalau belum laku, sudah, takdir,"


        Publik menilai candaan semacam itu tak bermoral apalagi sebagai orang yang paham agama. Tokoh panutan atapun yang kita sebut pemimpin jika tak menghargai serta menghormati masyarakat yan g dibawah, bagaiman bisa negara ini menjadi negara baldtun thoyyibatun warobbun ghofur.

        Peran seorang pendakwah atau penda’i semestinya memberi siraman rohani, peneguhan, penegasan yang yang mencerahkan bukan yang mematahkan semangat apalagi yang tak semangat yabg tak membangun. Pekerjaan yang dikerjakan setiap orang adalah mulia apapun pekerjaanya selama itu baik dan tidak merugikan oranglain itu sungguh mulia.

        Pantaskah kita mengatakan goblok kepada orang?

        Kata goblok atau bodoh sekali berasal dari bahasa Jawa dan berarti bodoh sekali. Kata ini digunakan untuk menggambarkan seseorang yang tidak berpengetahuan, bersifat bodoh, atau tidak dapat mengerjakan sesuatu dengan benar. Istilah ini tentu tidak bisa dijadikan sebagai candaan dalam komunikasi dakwah apalagi ucapan ini keluar dari seorang sososok gus atau ulama sungguh tidak elok. Gk bisa dibayangkan jika kita berada di posisi bapak yang menjual es teh tersebut tentu akan merasa tersudut. 

        Dalam situasi apapun dan konteks apapun jika seorang melontarkan kata-kata tak bermoral tersebut maka kita telah menciderai nilai-nilai kemanusiaan apalagi dalam momentum memberikan pencerahan agama terhadap masyarakat.

        Jika pedagang tersebut adalah bapak kita?

        Andai kata sosok pria yang dihina adalah bapak kandung kita, ayah kita semua yang membesarkan kita dengan rezeki halal dan keikhlasan yang tiada hari banting tulang mencari rezeki demi masa depan anak-anakny. Tentu dalam tahap mencari rezeki tidak semudah membalik tangan. Andaikata bapak sya menjadi seorang pedagang bakul Lantas ia mengalami kejadian yang semacam itu, di hina, di olok-olok digoblokin di depan umum dengan ucapan yang tidak memanusiakan manusia tentu kita sebagai seorang anaknya akan merasa terpukul bukan hanya bersedih bahkan bisa-bisanya kita kehilangan harga diri, ingin membela atau membantu sementara kita bukanlah siapa-siapa sementara orang yang menghina adalah orang besar, besar kekuasaan, besar nama dan besar jaringan. Apalah salahnya bapak tersebut sampai-sampai dijadikan bahan olok-olokam padahal niatnya ke situ bertujuan untuk menimbah ilmu di majelis sembari membantu orang lain yang kehausan lalu dibeli sehingga hasilnya untuk keluarga di rumah. 

        Gus bukan Nabi apalagi tuhan.

        Saya sebagai anak terdidik selalu menanamkan untuk tidak terlalu mengkultuskan seseorang hanya karena nasab, keturunan, atau marga. Namun lebih kepada kualitas dan sikap orang tersebut terhdap orang lain. Jika orang tersebut berkualitas maka pastinya akan meperlihatkan kualitas dirinya. Termasuk kualitas sikap terhadap orang yang ia jumpai. Tutur kata, sikap adalah cerminan dirinya. Tak pantas dikatakan orang alim yang paham agama jika sesama saudaranya tidak saling meninggikan. Jangan karna mentang-mentang seorang tokoh yang nemiliki masa besar atau disebut gus lantas semena-menanya menindas orang-orang lemah. 

Kata yang kotor tidak mencerminkan orang-orang berilmu dan beriman. Seorang yang kita kagumi dan sekaligus sebagai sandaran dalam menjelaskan arti kehidupan yang bahagia dunia dan akhirat adalah seorang ulama. Seorang ulam adalah orang-orang yang berilmu, rendah hati, serta yang paling inti adalah takut dengan Allah swt serta menghargai sesama dan memuliakan ciptaan-Nya. Ulama juga bukan hanya sekedar pandai serta fasih menbaca Al-qur'an namun paham akan isi kandungan Al-qur'an dan hadits. Di dalam Al-Qur'an banyak sekali dijelaskan bagaimana etika bermuamalah dengan sesama apalagi sesama saudara muslim. Lebih tegasnya lagi di dalam hadits bahwa manusia harus menghargai dan saling mencintai “tidak sempurna iman seseorang jika ia belum mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya” begitu tegas rasulullah untuk menekankan kepada umatnya untuk selalau saling mencintai dalam situasi apapun . Kembali lagi rasulullah menekankan kepada umatnya Bagaimana saling menghargai antara yang tua dengan yang muda, yang kaya dengan yang miskin dan seterusnya atau yang jualan es dengab jualan Aga**. Mestinya pemahaman dasar ini sudah menjadi asas pola pikir dan tingkah laku sebagai sorang muslim apalgi yang maqomnya sudah tinggi se level gus tentu tak diragukan lagi. Jika se level gus saja cara memperlakukan orang-orang seperti itu bagaimana dengan generasi bawahnya bawahnya. Itulah pentingya kita untuk tidak terlalu mngkultuskan seseorang karna indentitasnya adalah orang terpandang ambil yang baik tinggalkan yang tidak baik. Identitas harus berasaskan kualitas, jika identitasnya tak mencerminkan kualitas apakah orang itu masih kita sebut sebagai insan berkualitas?

        Tentu Setiap manusia tak luput dari kesalahan dan kehilafan apalagi dalam bertutur kata dan terkadang apa yang diutarakan terkadang tidak kita sadari. Makanya para ulama slalu menganjurkan untuk berfikir sebelum berucap agar tidak terjadi kecacatan dalam menyampaikan pesan. Mungkin ini pelajaran untuk kita semua agar berhati-hati dalam menyampaikan informasi apalagi informasi yang bersifat ilahiah. Karna apa yang kita sampaikan adalah investasi bagi masyarakat yang akan dijadikan sandaran dalam menjalani hidup yang berkah. Terkhusunya jabatan yang di berikan adalah amanah dari masyarakat karna sudah dipercaya sebagai tokoh yang dijadikan panutan Segala apapun yang di kerjakan pasti memiliki rekam jejak apalagi sebagai tokoh besar bangsa terkhususnya bangsa santri dan gen z maka padailah memilih dan memilah narasi.

        Tentu ini adalah pelajaran bagi kita semua para insan yang serba kekurangan dan kekhilafan. meskipun beliau sebagai seorang gus atau orang yang kita sebut sebagai ahli dalam ilmu agama untuk mendidik masyarakat namun beliau tetap sebagai manusia dan bukanlah malaikat yang tak pernah salah. dan yang tidak kalah penting adalah bagi para netizen untuk tidak membesar-besarkan serta memperparah keadaan, lebih -lebih berbahagia di atas penderitaan orang lain. Yang jelas apa yang beliau tampilkan pada publik adalah kekeliruaan maka wajib kita tegur. Teruntuk kita semua sudahlah untuk menghakimi jadikan kejadian tersebut sebagai batu loncatan bahwa kita semua bisa salah ambil hikmah. Setiap kesalahan harus diperbaiki agar tidak terjadi lagi hal yang diinginkan.


Sebaik-baik manusia adalah yang mau belajar dari kesalahanya.



Penulis: Fiqri Rabuna

Pekerjaan: GURU SMAN 2 SUMBAWA BESAR



Posting Komentar

0 Komentar